Pasal 27 Ayat 1 Uu Ite Dipidana Dengan

Pasal 27 Ayat 1 Uu Ite Dipidana Dengan

Chicago citation style:

Rahmawati, Maidina, Author, Indonesia, and Publisher Institute For Criminal Justice Reform. Menelisik pasal bermasalah dalam UU ITE pasal 27 ayat 1 tentang kesusilaan. [Pasar Minggu, Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2021] Pdf. https://www.loc.gov/item/2022320929/.

Rahmawati, M., Indonesia & Institute For Criminal Justice Reform, P. (2021) Menelisik pasal bermasalah dalam UU ITE pasal 27 ayat 1 tentang kesusilaan. [Pasar Minggu, Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform] [Pdf] Retrieved from the Library of Congress, https://www.loc.gov/item/2022320929/.

Rahmawati, Maidina, Author, Indonesia, and Publisher Institute For Criminal Justice Reform. Menelisik pasal bermasalah dalam UU ITE pasal 27 ayat 1 tentang kesusilaan. [Pasar Minggu, Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2021] Pdf. Retrieved from the Library of Congress, .

Banyak pihak menganggap bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang mengatur mengenai penghinaan atau pencemaran nama baik secara online dapat ditujukan kepada satu kelompok masyarakat, suku, atau agama. Bahkan, ada juga orang yang merasa dirinya dihina atau nama baiknya dicemarkan hanya karena ada muatan penghinaan yang tidak mencantumkan identitasnya.

Dari segi historis penyusunan UU ITE, Pasal 27 UU ITE dibangun berdasarkan asas dan konstruksi yang telah berdiri dalam KUHP. Pasal 27 UU ITE tidak dapat berdiri sendiri tanpa ada pemahaman dari KUHP, sehingga dalam UU ITE tidak perlu dijelaskan konsep atau ruang lingkup kesusilaan, perjudian, pengancaman dan pemerasan, maupun penghinaan dan pencemaran nama baik. Itu juga berarti, Pasal 27 UU ITE tidak dapat berdiri sendiri tanpa ada KUHP.

Khusus Pasal 27 ayat (3) UU ITE, pada esensinya penghinaan atau pencemaran nama baik ialah menyerang kehormatan, nama baik, atau martabat seseorang.Unsur “muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengacu pada KUHP. Esensi penghinaan atau pencemaran nama baik dalam UU ITE dan KUHP ialah tindakan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan maksud untuk diketahui oleh umum. Oleh karena itu, perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya dalam pasal ini haruslah dimaksudkan untuk menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan maksud untuk diketahui oleh umum.

Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk melindungi Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur dalam Konstitusi bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Oleh karena itu, Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dimungkinkan diterapkan terhadap organisasi atau institusi.

Orang tersebut haruslah pribadi kodrati (naturlijk persoon) dan bukan pribadi hukum (rechts persoon). Pribadi hukum tidak mungkin memiliki perasaan terhina atau nama baiknya tercemar mengingat pribadi hukum merupakan abstraksi hukum. Meskipun pribadi hukum direpresentasikan oleh pengurus atau wakilnya yang resmi, tetapi delik penghinaan hanya dapat ditujukan pada pribadi kodrati, sama seperti pembunuhan atau penganiayaan. (Sitompul, 2012)

Delik penghinaan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE bersifat subjektif. Maksudnya, perasaan telah terserangnya nama baik atau kehormatan seseorang ialah hak penuh dari korban. Korbanlah yang dapat menentukan bagian mana dari Informasi atau Dokumen Elektronik yang menyerang kehormatan atau nama baiknya. Akan tetapi, penilaian subjektif ini harus diimbangi dengan kriteria-kriteria yang lebih objektif.

Dalam mempermasalahkan konten yang diduga memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. (Sitompul, 2012)

Dalam konten yang dipermasalahkan harus ada kejelasan identitas orang yang dihina. Identitas tersebut harus mengacu kepada orang pribadi tertentu dan bukan kepada pribadi hukum, bukan pula ditujukan kepada orang secara umum, atau kepada sekelompok orang berdasarkan suku, agama, ras, atau golongan. Identitas dapat berupa gambar (foto), username, riwayat hidup seseorang, atau informasi lain lain yang berhubungan dengan orang tertentu yang dimaksud. Dalam hal identitas yang dipermasalahkan bukanlah identitas asli maka perlu ditentukan bahwa identitas tersebut memang mengacu pada korban, dan bukan pada orang lain. Identitas tersebut – meskipun bukan identitas asli – diketahui oleh umum bahwa identitas tersebut mengacu pada orang yang dimaksud (korban) dan bukan orang lain. Dalam hal pelaku tidak menuliskan identitas kepada siapa kalimat tersebut ditujukan, maka konten tersebut bukan merupakan penghinaan yang dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Apabila ada seseorang yang merasa bahwa kalimat tersebut ditujukan untuk dirinya maka – kecuali pelaku mengaku demikian – diperlukan usaha yang besar untuk mengaitkan antara konten serta tujuan penulisannya dan korban.

Kriteria yang lebih objektif untuk menilai hubungan antara muatan dari informasi atau dokumen elektronik yang dianggap menghina atau mencemarkan nama baik seseorang dan korban dapat dibangun berdasarkan konten dan konteks dari tiap-tiap kasus. Konten yang dipermasalahkan dapat dinilai dari sisi bahasa. Sedangkan konteks dapat dinilai dari sisi sosial maupun psikologi.

Lebih lanjut, secara pragmatis, dalam penerapan Pasal 27 ayat (3) UU ITE hanya korban yang dapat merasakan bagian mana dari suatu pernyataan yang menghina atau mencemarkan nama baiknya. Tidak ada seorangpun yang dapat mewakili korban yang dapat menyatakan sama seperti yang dirasakan oleh korban tanpa korban sendiri yang memberitahukan kepadanya secara langsung. Itulah sebabnya, secara pragmatis, pengurus atau wakil resmi dari institusi atau badan usaha tidak mungkin mengatakan mana dari pernyataan yang menghina atau mencemarkan nama baik instansi atau institusi – sebagai korban.

Kesimpulannya, menerapkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE selain ditujukan terhadap manusia sebagaimana dimaksudkan pada pembentukannya sejak awal, merupakan suatu penyimpangan yang memiliki konsekuensi baik secara hukum maupun secara sosial dan kontraproduktif terhadap perlindungan hak asasi manusia yang lain, khususnya kebebasan mengemukakan pendapat (freedom of speech)

Sumber: Sitompul, Josua. 2012. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw : Tinjauan Aspek Hukum Pidana, Jakarta : Tatanusa.

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul sama yang pertama kali dipublikasikan pada 4 Desember 2023, dan pertama kali dimutakhirkan pada 12 Desember 2023.

Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

Isi Pasal 27 Ayat (2) UU 1/2024

Pada dasarnya, judi online merupakan perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (2) UU 1/2024 tentang perubahan kedua UU ITE, yang berbunyi sebagai berikut:

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.

Isi Pasal 27 ayat (1) UU 1/2024

Pada dasarnya, seseorang yang menyebarkan informasi/dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan dapat dikenakan pidana berdasarkan UU 1/2024 tentang perubahan kedua UU ITE. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (1) UU 1/2024 yang berbunyi:

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum.

Unsur-unsur Pasal 27 ayat (1) UU 1/2024

Dari bunyi Pasal 27 ayat (1) UU 1/2024, penjelasan unsur-unsur pasal tersebut adalah:[1]

Selanjutnya, seseorang yang melanggar ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU 1/2024 berpotensi dipidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU 1/2024.

Kemudian sebagai informasi, pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan informasi dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang dilarang.[2] Dalam melakukan pencegahan tersebut, pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.[3] Lalu, perintah kepada penyelenggara sistem elektronik berupa pemutusan akses dan/atau moderasi konten secara mandiri terhadap informasi dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pornografi, perjudian, atau muatan lain sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan sepanjang dimungkinkan secara teknologi.[4]

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

[2] Pasal 40 ayat (2a) UU 1/2024

[3] Pasal 40 ayat (2b) UU 1/2024

[4] Pasal 40 ayat (2c) UU 1/2024

Citations are generated automatically from bibliographic data as a convenience, and may not be complete or accurate.

Pasal Perjudian dalam KUHP

Sebagai informasi, selain diatur dalam UU 1/2024, tindak pidana perjudian juga diatur dalam Pasal 303 dan Pasal 303 bis KUHP yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan Pasal 426 dan Pasal 427 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[3] yaitu tahun 2026. Berikut adalah bunyi Pasal 303 dan Pasal 303 bis KUHP:

Catatan utama dari Pasal mengenai kesusilaan di dalam UU ITE adalah banyaknya korban kekerasan seksual di ruang siber yang justru diancam dipidana. Hal ini dimungkinkan karena perumus UU ITE gagal memperhatikan pengecualian-pengecualian yang bisa terjadi bagi korban kekerasan seksual, yang dilihat dari UU ITE hanyalah cara muatan ini berpindah tangan dan dilakukan di dalam ranah siber. Tidak ada definisi dari “Kesusilaan” dan jika merujuk ke dalam KUHP, perbuatan “melanggar kesusilaan” diatur di dalam berbagai Pasal yang tersebar di dalam buku 2 KUHP tentang kejahatan dan buku 3 KUHP tentang pelanggaran.

Kesusilaan di dalam KUHP juga bergantung erat terhadap nilai kesusilaan di tempat terjadinya perbuatan, suatu hal yang bertentangan dengan konsep internet yang lintas batas (cross-border). Pasal ini juga merupakan duplikasi dengan UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi yang mana di dalam UU tersebut hanya menjerat perbuatan jika muatan asusila disebarkan di muka umum atau digunakan untuk tujuan komersil, dengan demikian frasa “mentransmisikan” yang termasuk korespondensi pribadi seharusnya tidak dapat dipidana disini, terlebih jika tujuannya sebagai bukti kekerasan.

Kertas Kebijakan ini berisi masukkan atas usulan rumusan Matriks Draft RUU ITE yang ada. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat dalam proses revisi kedua UU ITE dan memperbaikinya demi sejalan dengan perlindungan Hak Asasi Manusia dan prinsip hukum pidana.

Pasal pencemaran nama baik di dalam UU ITE banyak mengkriminalisasi ekspresi-ekspresi yang sah dan menjadi masalah pokok dari UU ITE. Permasalahan perumusan seperti delik pokok mengenai penghinaan yang diatur dengan berbagai jenis perbuatan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diambil dan diimplementasikan secara berantakan. Sehingga dalam beberapa kasus, kasus pidana penghinaan ringan yang seharusnya diancam dengan pidana yang relatif lebih rendah disamaratakan dengan tindak pidana yang ancaman pidananya lebih tinggi. Selain itu, tidak jelasnya unsur mentransmisikan (menyebarkan ke satu orang lain) gagal menafsirkan unsur “di muka umum” yang merupakan unsur utama dari ketentuan pencemaran nama baik di delik pokoknya di KUHP. Pasal pencemaran nama baik di dalam UU ITE menduduki Pasal yang paling banyak digunakan menurut hasil riset ICJR tahun 2021.

Kertas Kebijakan ini berisi masukkan atas usulan rumusan Matriks Draft RUU ITE yang ada. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat dalam proses revisi kedua UU ITE dan memperbaikinya demi sejalan dengan perlindungan Hak Asasi Manusia dan prinsip hukum pidana.

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

Pengertian Judi Online

Sebelum menjawab pertanyaan Anda, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan judi. Menurut KBBI, judi adalah permainan dengan memakai uang atau barang berharga sebagai taruhan (seperti main dadu, kartu). Sehingga menurut hemat kami, judi online adalah perbuatan judi yang dilakukan secara daring melalui web atau aplikasi yang menyediakan konten perjudian.

Lantas, judi online melanggar pasal berapa?

Tindak Pidana Perjudian dalam KUHP Baru

Selanjutnya, tindak pidana perjudian dalam UU 1/2023 berbunyi sebagai berikut:

Setiap Orang yang menggunakan kesempatan main judi yang diadakan tanpa izin, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III, yaitu Rp50 juta.[5]

Penjelasan selengkapnya mengenai pasal perjudian dalam KUHP dan UU 1/2023 dapat Anda baca pada artikel Jerat Hukum Judi Online: Penjara hingga Denda Rp1 Miliar dan Perbedaan Game Online dengan Judi Online.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Judi, yang diakses pada Selasa, 23 Januari 2024, pukul 01.23 WIB.

[2] Penjelasan Pasal 27 ayat (2) UU 1/2024

[4] Pasal 79 ayat (1) huruf f UU 1/2023

[5] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023

Mengapa Pasal 27 ayat (3) UU ITE Dianggap Pasal Karet?

Secara historis, unsur Pasal 27 ayat (3) UU ITE bersifat sangat subjektif dan dapat menjadi bahan “karet” bagi penegak hukum.[3] Lalu, Pasal 27 ayat (3) UU ITE dianggap sebagai pasal karet karena isi dari pasal tersebut memiliki pengertian yang multitafsir.[4] Mengapa Pasal 27 ayat (3) UU ITE dianggap pasal karet? Hal ini karena ketentuan dari pasal tersebut merujuk pada delik aduan, namun tidak adanya batasan yang jelas terhadap unsur penghinaan dan pencemaran nama baik, menimbulkan beberapa ancaman masalah dalam implikasi pasal tersebut, antara lain:[5]

Dengan kata lain, keadaan multitafsir pada pasal tersebut menimbulkan tidak terpenuhinya tujuan hukum untuk menciptakan kepastian, kemanfaatan, dan keadilan.[7] Namun demikian, perlu diperhatikan penjelasan dalam Lampiran SKB UU ITE (hal. 11) bahwasanya bukan delik yang berkaitan dengan muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, jika muatan atau konten yang didistribusikan, ditransmisikan, dan/atau dibuat dapat diaksesnya tersebut adalah berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan.

Unsur Pasal 27 Ayat (2) UU 1/2024

Dari bunyi Pasal 27 ayat (2) UU 1/2024, terdapat beberapa penjelasan unsur, sebagai berikut:[1]

Kemudian, yang dimaksud pada Pasal 27 ayat (2) UU 1/2024 di atas mengacu pada ketentuan perjudian dalam hal menawarkan atau memberikan kesempatan untuk permainan judi, menjadikannya sebagai mata pencaharian, menawarkan atau memberikan kesempatan kepada umum untuk bermain judi, dan turut serta dalam perusahaan untuk itu.[2]

Lalu, orang yang melanggar ketentuan Pasal 27 ayat (2) UU 1/2024 berpotensi dipidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp10 miliar, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (3) UU 1/2024.

Baca juga: Ini Bunyi Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang Dianggap Pasal Karet